AKTOR Reza RahadianMatulessy menyatakan kekhawatirannya terhadap kondisi pendidikan di wilayah terpencil. Aktor yang memerankan Habibie dalam film Habibie Ainun ini melihat banyak sekolah yang tidak memadai, khususnya di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Pada hari Kamis, 7 Agustus yang lalu, Reza mengunjungi sekaligus memberikan pelajaran di beberapa sekolah dasar yang berada di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Sekolah pertama yang dikunjungi adalah SD Inpres Bala. Sekolah ini berada di ujung Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat dan langsung berbatasan dengan Pulau Flores.
Sampai sekitar pukul sembilan pagi, Reza langsung memasuki bangunan yang sudah tidak terpakai dan rusak. Bangunan ini terdiri dari dua ruang kelas yang tidak lagi digunakan akibat kerusakan yang parah. ObservasiTempo, plafon di dalam ruang kelas tersebut retak, kaca jendela patah, hingga kayu-kayu penyangga bangunan terlihat hitam karena ditumbuhi jamur dan tampak rapuh.
Karena takut membahayakan siswa, ruangan kelas tersebut akhirnya digunakan sebagai gudang penyimpanan buku teks yang tidak lagi digunakan sejak dua tahun lalu. Namun karena tidak terjaga kebersihannya, tumpukan buku tersebut tampak bercampur dengan rumput liar.
“Ini adalah bangunan terakhir pada tahun 2008, sudah kami ajukan ke Dapodik sebanyak empat kali tetapi hingga kini belum juga mendapatkan bantuan,” ujar Kepala Sekolah SD Inpres Bala, Abdul Majid.
Setelah memeriksa kondisi fasilitas sekolah, Reza kemudian mengajar siswa kelas tiga. Di dalam ruangan tersebut terdapat dua kelompok belajar, yaitu kelas 3 dan 4. Mereka menggunakan satu ruang kelas yang sama karena hanya ruangan itu yang masih layak digunakan.
Duta persahabatan organisasi non-pemerintah YAPPIKA-ActionAidini mengajar menghitung pertambahan seperti seorang guru yang sungguhan. “Coba kita hitung dulu. Nanti tulis angka-angkanya di sini. Maju satu-satu berhitung. Boleh?” kata Reza berdiri di depan papan tulis sambil memegang spidol.
Ia menulis soal 225+31 dan meminta siswa yang mampu menyelesaikannya untuk maju ke depan. Namun, dari sekitar 12 siswa tersebut belum mampu menyelesaikan soal tersebut, sehingga akhirnya Reza mengajak mereka untuk menghitung bersama-sama dan menjelaskan cara penjumlahan secara berurutan.
Pada saat yang sama, di samping guru kelas 4 sedang mengadakan pembelajaran bercerita. Satu per satu siswa diminta untuk maju ke depan untuk membacakan cerita mengenai legenda timun mas.
“Anak-anak, perhatikan bukunya dan dengarkan temanmu di sini. Jangan memandang yang lain,” kata seorang guru karena beberapa siswanya justru mendengarkan pelajaran yang sedang berlangsung di kelas sebelah.
Di sisi lain, Reza beberapa kali terlihat menghentikan penjelasannya ketika guru yang mengajar di sebelahnya memberikan penjelasan. “Situasi ini sangat tidak efisien. Dua guru dengan mata pelajaran berbeda secara tidak langsung saling bersaing saat mengajar,” ujarnya. “Anak-anak juga menjadi bingung dan sulit fokus harus mendengarkan yang mana.”
Selanjutnya, sekolah ini secara keseluruhan hanya memiliki 4 ruang kelas yang masih berfungsi. Berdasarkan pengamatanTempo, bangunan yang masih digunakan saat ini sebenarnya sudah cukup rusak, seperti plafon yang retak, dinding yang tertutup jamur, hingga lantai keramik yang retak dan hampir tidak ada yang utuh.
Selain itu, terdapat satu ruangan terpisah yang berfungsi sebagai ruang guru, dapur, dan perpustakaan. Abdul Majid menyatakan fasilitas yang tidak memadai ini menyebabkan proses pembelajaran di sekolahnya menjadi tidak efektif.
Ia mengakui banyak anak yang terlambat dalam membaca dan berhitung karena kondisi kelas yang tidak mendukung. “Namun kami tidak memiliki pilihan, daripada anak-anak harus menggunakan ruang kelas yang sudah berbahaya,” katanya.
Kondisi yang serupa juga terjadi di SD Inpres Ntoke, Bima, NTB. Di sekolah tersebut, satu ruang kelas digunakan untuk dua kelompok belajar yaitu kelas 2 dan 3. Kedua kelas ini hanya dipisahkan oleh pembatas dari triplek.
Selain membuat anak kesulitan memahami pelajaran, menurut Reza, mengajar dalam kondisi tersebut juga menyulitkannya. “Jika seperti ini, saya rasa wajar jika para guru emosional,” katanya bercanda saat berkeluh kesah kepada guru-guru di sekolah tersebut.
Reza berharap para pengambil kebijakan, baik pemerintah daerah maupun pusat, memberikan perhatian khusus kepada sekolah-sekolah yang masih mengalami keterbatasan. “Semoga Bapak Bupati dapat mengalokasikan dana yang sebenarnya harusnya tersedia untuk perbaikan infrastruktur sekolah,” ujarnya.
Dulunya Ketua Festival Film Indonesia juga berharap pemerintah pusat, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, mampu menciptakan kebijakan pendidikan yang selaras dan sesuai dengan kebutuhan berbagai daerah di Indonesia, serta memperhatikan kemampuan para guru.
Selama kunjungannya, Reza menyampaikan bahwa ia menerima banyak keluhan dari guru yang mengaku kesulitan mengajar secara optimal karena tidak memahami kurikulum dan metode pengajaran yang tepat. “Saya juga menemukan banyak anak kita yang belum mampu membaca dan berhitung dasar,” ujarnya. “Padahal saya yakin pendidikan merupakan kunci untuk masa depan Indonesia yang lebih baik,” tambahnya.




